Cuaca Madinah pagi itu begitu dingin. Sambil bersandar di sisi kiri mimbar, pandanganku tertuju ke arah makam Rasulullah.
Tiba-tiba imajinasiku memaksaku melompat jauh ke masa silam, tepatnya di tahun terakhir kenabian.
Tahun itu... Kabilah-kabilah arab berbondong-bondong menyatakan masuk islam. Itu artinya tugas kenabian sebentar lagi usai.
Menikmati masa-masa kemenangan adalah tabiat sebuah perjuangan.
Tapi tidak bagi sosok yang mulia itu.
Karena misi perjuangannya bukan untuk meraup harta, bukan pula untuk mengejar jabatan.
Bila Allah ridho, kalimat-Nya ditinggikan, syariat-Nya ditegakkan, maka itulah puncak pencapaian tertinggi.
Raga suci itu letih, peluh di dahinya sesekali mengucur.
Diatas tikar kasar raga itu terkulai, berbulan-bulan tak ada api yang mengepul di rumahnya.
Kondisi itu tidak hanya terjadi sekali, bahkan berkali-kali semenjak beliau diutus menjadi nabi.
Abu
Hurairah menuturkan, “Adakalanya sampai berbulan-bulan berlalu, namun
di rumah Rasulullah tidak ada satupun lampu yang menyala, dapurnya pun
tidak mengepul. Jika ada minyak, maka dijadikannya sebagai makanan.
Sering
beliau tidur malam sedang keluarganya bolik-balik di atas tempat
pembaringan karena kelaparan, tidak ada makan malam. Makanan mereka
biasanya hanya roti yang terbuat dari syair yang kasar.” (HR.
Tarmidzi).
Sang istri Aisyah radhiallahu anha
menuturkan, “Sering kali kami melewati masa hingga 40 hari, sedang di
rumah kami tidak pernah ada lampu yang menyala dan dapur kami tidak
mengepul. Maka orang yang mendengar bertanya,
'‘Jadi apa yang kalian makan untuk bertahan hidup?’' Ibu kita menjawab, "Kurma dan air saja, itu pun jika dapat.”(HR. Ahmad)
Abu
Hurairah berkata, “Aku pernah datang kepada Rasulullah ketika dia
shalat sambil duduk, maka aku pun bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa aku
melihatmu shalat sambil duduk, apakah engkau sakit?’
Jawab beliau, ‘Aku lapar, wahai Abu Hurairah.’
Mendengar
jawaban beliau, aku terus menangis sedih melihat keadaan beliau. Beliau
merasa kasihan melihatku menangis, lalu beliau berkata,
‘Wahai Abu Hurairah, jangan menangis, karena beratnya penghisaban dihari
kiamat nanti tidak akan menimpa orang yang hidupnya lapar di dunia jika
dia menjaga dirinya di kehidupan dunia ini.” (HR. Muslim).
Ibnu
Bujair berkata, “Pada suatu hari Rasulullah pernah merasa sangat lapar.
Lalu beliau mengambil batu dan diikatkannya pada perutnya.
Kemudian
beliau bersabda, ‘Betapa banyak orang yang memilih makanan yang lembut
di dunia ini kelak dia akan menjadi lapar dan telanjang pada hari
kiamat!
Dan betapa banyak orang yang memuliakan dirinya di sini, kelak dia akan dihinakan di akhirat.
Dan betapa banyak orang yang menghinakan dirinya di sini, kelak dia akan dimuliakan di akhirat’.”
Dalam
riwayat lain yang dikeluarkan oleh Baihaqi, Ummul mukminin menuturkan,
“Rasulullah tidak pernah kenyang tiga hari berturut-turut. ?
Sebenarnya
jika kita mau, kita bisa kenyang, akan tetapi beliau shalallahu alaihi
wasallam selalu mengutamakan orang lain yang kenyang daripada dirinya
sendiri.”
Dialog-dialog dalam kisah diatas seolah kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri, tanpa terasa air mata ini mengalir.
Ya Allah....
Alangkah kufurnya diri ini terhadap nikmat-Mu.
Entah berapa kali diri ini merasakan kenyang, sementara syukur jarang terucap dan ibadah tak kunjung meningkat.
Aku
teringat ucapan ummul mukmini Aisyah radhiallahu anha yang berbunyi, “Ujian yang pertama kali akan menimpa umat ini sesudah kepergian
Rasulullah adalah kenyangannya perut!
Apabila perut suatu kaum kenyang, badannya gemuk, maka lemahlah hatinya dan syahwatnyapun merajalela!” (HR. Bukhari).
Wal iyaadzu billah..
Sahabat...
Sebelum mengeluhkan dapurmu yang kekurangan ini dan itu, maka ingatlah dapur Rasulullah shallallahu alaihi wasallam...
Ingatlah rasulullah yang tak pernah kenyang sejak diutus menjadi nabi hingga wafatnya.
Sesekali
bawalah imajinasimu mundur jauh ke masa-masa beliau hidup, lalu
tanyakan pada dirimu, "Masihkah pantas engkau mengeluhkan kondisi
dapurmu yang serba kekurangan..?"
Catatan:
Kesederhanaan
Rasulullah adalah pilihan hidup, bukan keterpaksaan. Sebab bila beliau
mau, maka gunung uhud akan dirubah menjadi emas untuknya, namun beliau
menolak.
Beliau menganggap kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia.
Riwayat-riwayat
diatas tidak mengajarkan kepada kita untuk selalu lapar dan miskin.
Namun mengajarkan kepada kita agar mempunyai pola hidup sederhana.
Dimana kita tetap berusaha dan bekerja keras, namun tidak menggantungkan semuanya kepada dunia.
Prinsipnya, "Genggamlah dunia dengan tanganmu, jangan biarkan ia memasuki hatimu"
Ust.Moh.Yusuf
Ketua Dewan Masjid
Jakarta Utara
0 Response to "KISAH DIBALIK DAPUR SANG KHOLIL (KEKASIH ALLAH)"
Post a Comment
Jadilah yang pertama dalam berkomentar