Oleh Ustadz Muhammad Qasim
Tidak ada satu kejadian di antara sekian banyak kejadian yang
ditampakkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hadapan hamba-Nya, melainkan
agar kita bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari kekuasaan yang Allah
Azza wa Jalla tampakkan tersebut. Yang pada akhirnya, kita dituntut
untuk selalu mawas diri dan melakukan muhasabah.
Di antara bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, ialah
terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar yang banyak dianggap remeh
manusia. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru
memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan segera menegakkan shalat,
memperbanyak dzikir, istighfar, doa, sedekah, dan amal shalih tatkala
terjadi peristiwa gerhana. Dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ
لاَيَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوْااللهَ وَكَبِّرُوْا وَصَلُّوْا وَتَصَدَّقُوْا …
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan
Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu,
bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah,
shalat dan bersedekahlah. [Muttafaqun ‘alaihi]
PENGERTIAN GERHANA
Dalam istilah fuqaha dinamakan kusuf. Yaitu hilangnya cahaya matahari atau bulan atau sebagiannya, dan perubahan cahaya yang mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusuf semakna dengan kusuf. Ada pula yang mengatakan kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa.[1]
Jadi, shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara
dan gerakan tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau
hilang sebagiannya.
HUKUM SHALAT GERHANA
Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah. Abu ‘Awanah menegaskan wajibnya shalat gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah, beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu Qudamah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya sunnah muakkadah.[2]
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib,
berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula
Shiddiq Hasan Khân dan Syaikh al-Albâni rahimahullah.[3] Dan Syaikh
Muhammad bin Shâlih ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebagian ulama
berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam إِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوْا (jika
kalian melihat, maka shalatlah -muttafaqun ‘alaih).
Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang menakutkan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan khutbah yang agung,
menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu menjadi satu alasan kuat
wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya sunnah tatkala
kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan tentang kejadian ini,
kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani
meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa
dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita
meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa
takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki argumen
sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana matahari
atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk dengan
dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di lading;
semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita
diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan wajib
memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.[4]
Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda dari kalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara berjama’ah
seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat Imam
asy-Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga datang
dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu ‘Abbas.[5]
Dalil mereka:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ
الشَّمْسَ وَالقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَيَنْكَسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا
فَادْعُوْاالله وَصَلُّوْا حَتَّى يَنْجَلِيَ .
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan
Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu,
bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai
terang kembali. [Muttafqun ‘alaihi].
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini
pendapat Imam Abu Hanifah dan Mâlik.[6] Dalilnya, bahwa pada umumnya,
pelaksanaan shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada
pelaksanaannya saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikannya
secara berjama’ah, padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada
kejadian gerhana matahari.
Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat pertama,
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada umatnya
untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang satu dengan
lainnya (gerhana matahari dan bulan).[7] Sebagaimana di dalam hadits
disebutkan:
فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ …
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid,
kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam
shaf di belakangya. (Muttafaqun ‘alaihi).
Ibnu Qudamah juga berkata: “Sunnah yang diajarkan, ialah menunaikan
shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , walaupun boleh juga dilakukan
sendiri-sendiri, namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih afdhal
(lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang
telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.[8]
WAKTU SHALAT GERHANA
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَادْعُوْاالله وَصَلُّوْا حَتَّى يَنْجَلِيَ
Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang. [Muttafaqun ‘alaihi].
KAPAN GERHANA DIANGGAP USAI?
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sedia kala, dan (2) gerhana terjadi takala matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sedia kala, dan (2) saat terbit matahari.[9]
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sedia kala, dan (2) gerhana terjadi takala matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sedia kala, dan (2) saat terbit matahari.[9]
AMALAN YANG DIKERJAKAN KETIKA TERJADI GERHANA :
1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِذا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوْااللهَ وَكَبِّرُوْا وَصَلُّوْا وَتَصَدَّقُوْا …
Oleh karena itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah. [Muttafaqun ‘alaihi].
2. Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
فَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى المَسْجِدِ فَقَامَ وَكَبَّرَ وَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ …
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid,
kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam
shaf di belakangya. [Muttafaqun ‘alaihi].
3. Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana, sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu Bakr berkata:
أَتَيْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ حِينَ خَسَفَتْ الشَّمْسُ فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ
وَإِذَا هِيَ قَائِمَةٌ تُصَلِّي
Aku mendatangi ‘Aisyah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tatkala terjadi gerhana matahari. Aku melihat orang-orang berdiri
menunaikan shalat, demikian pula ‘Aisyah aku melihatnya shalat…
[Muttafaqun ‘alaihi].
4. Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan
tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan
“ash-shalatu jâmi’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abdullah bin ‘Amr, ia berkata:
لَمَّاكَسَفَتِ الشَّمْسُ غَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُوْدِيَ :إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam diserukan “ash-shalatu jâmi’ah” (sesungguhnya shalat
akan didirikan). [HR Bukhâri].
5. Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits, ‘Aisyah berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ قَامَ وَخَطَبَ النَّاسَ ……
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala selesai
shalat, dia berdiri menghadap manusia lalu berkhutbah. [HR Bukhâri].
TATA CARA SHALAT GERHANA
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Mâlik, Syâfi’i, dan Ahmad, mereka berpendapat
bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada dua kali
berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini
berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصَلَّى الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ والنَّاسُ
مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيْلاً نَحْوًا مِنْ سُوْرَةِ البَقَرَةِ
ثُمَّ رَكَعَ رُكُوْعًا طَوِيْلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيْلاً وَهُوَ
دُوْنَ القِيَامِ الأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوْعًا طَوِيْلاً وَهُوَ
دُوْنَ الرُّكُوْعِ الأَوَّلِ .
Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , maka beliau shalat dan orang-orang ikut shalat bersamanya.
Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca surat al-Baqarah, kemudian
ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama sekali berdirinya
namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang pertama,
kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih pendek dari
ruku’ pertama. [Muttafaqun ‘alaihi].
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:
أَنَّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىيَوْمَ
خَسَفَتِ الشَّمْسُ فَقَامَ فَكَبَّرَ فَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيْلَةً ثُمَّ
رَكَعَ رُكُوْعًا طَوِيْلاً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ :سَمِعَ اللهُ
لِمَنْ حَمِدَهُ،وَقَامَ كَمَا هُوَ، ثُمَّ قَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيْلَةً
وَهِيَ أَدْنَى مِنَ القِرَاءَةِ الأُوْلَى ثُمَّ رَكَعَ رُكُوْعًا
طَوِيْلاً وَهِيَ أَدْنَى مِنَ الرَّكْعَةِ الأُوْلَى ثُمَّ سَجَدَ
سُجُوْداً طَوِيْلاً ثُمَّ فَعَلَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِثْلَ
ذَلِكَ،ثُمَّ سَلَّمَ
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melaksanakan shalat ketika terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri
kemudian bertakbir kemudian membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian
ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya
(i’tidal) seraya mengucapkan: “Sami’allahu liman hamidah,” kemudian
berdiri sebagaimana berdiri yang pertama, kemudian membaca, panjang
sekali bacaannya namun bacaan yang kedua lebih pendek dari bacaan yang
pertama, kemudian ruku’ dan panjang sekali ruku’nya, namun lebih pendek
dari ruku’ yang pertama, kemudian sujud, panjang sekali sujudnya,
kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua sebagimana yang dilakukan
pada raka’at pertama, kemudian salam… [Muttafaqun ‘alaihi].
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah
dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua
sujud seperti halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu
Hanifah dan yang senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَخَرَجَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى انْتَهَى إِلَى المَسْجِدِ
وَثَابَ النَّاسُ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ رَكْتَيْنِ
Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret
selendangnya sampai akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut
melakukan apa yang dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat bersama mereka dua raka’at. [HR Bukhâri, an-Nasâ`i].
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama
(jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal
itu. Adapun pendapat Abu Hanifah dan orang-orang yang sependapat
dengannya, bahwasanya riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak
(umum), sehingga riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas)
ulama adalah muqayyad.[10]
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata:[11] “Ringkas kata, dalam
masalah cara shalat gerhana yang benar ialah dua raka’at, yang pada
setiap raka’at terdapat dua ruku’, sebagaimana diriwayatkan oleh
sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan riwayat
yang shahih”. Wallahu a’lam.
Ringkasan tata cara shalat gerhana sebagai berikut.
Niat Sholat Gerhana
أُصَلِّي سُنَّةَ الخُسُوفِ رَكْعَتَيْنِ إِمَامً/مَأمُومًا لله تَعَالَى
Ushallî sunnatal khusûfi rak‘ataini imâman/makmûman lillâhi ta‘âlâ
Artinya, “Saya shalat sunah gerhana bulan dua rakaat sebagai imam/makmum karena Allah SWT.”
1. Bertakbir, membaca doa iftitah, ta’awudz, membaca surat al-Fâtihah, dan membaca surat panjang, seperti al- Baqarah.
2. Ruku’ dengan ruku’ yang panjang.
3. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
4. Tidak sujud (setelah bangkit dari ruku’), akan tetapi membaca surat al-Fatihah dan surat yang lebih ringan dari yang pertama.
5. Kemudian ruku’ lagi dengan ruku’ yang panjang, hanya saja lebih ringan dari ruku’ yang pertama.
6. Bangkit dari ruku’ (i’tidal) seraya mengucapkan : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
7. Kemudian sujud, lalu duduk antara dua sujud, lalu sujud lagi.
8. Kemudian berdiri ke raka’at kedua, dan selanjutnya melakukan seperti yang dilakukan pada raka’at pertama. hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
9. Tasyahud.
10. Salam.
11 Setelah itu imam menyampaikan khutbah
kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a,
beristighfar, sedekah.
Kesimpulan. Sesungguhnya terjadinya gerhana merupakan peristiwa yang
menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan khutbah
yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Kalaupun seandainya
kita mengkatakan hukumnya sunnah tatkala kita melihat banyak orang yang
meninggalkannya, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat
menekankan hal ini kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang
lain mulai berani meninggalkannya, maka pendapat ini, perlu ditilik
ulang. Bagaimana bisa, sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja
kita meninggalkannya –lantas dikatakan- seolah hanya kejadian yang biasa
saja? Dimanakah rasa takut itu?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib memiliki argumen
sangat kuat. Dan Syaikh ‘Utsaimin mengingatkan, jika ada orang yang
melihat gerhana matahari atau bulan, lalu mereka tidak peduli sama
sekali, masing-masing sibuk dengan dagangannya, masing-masing sibuk
dengan hal sia-sia, sibuk di ladang, maka semua itu dikhawatirkan
menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang kita semua diperintah untuk
mewaspdainya. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib lebih kuat
daripada yang mengatakan sunnah.
Demikian secara ringkas penjelasan tentang shalat gerhana, semoga bermanfaat.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala ‘alihi washahbihi ajma’in.
Marâji’:
1. Al-Mughni.
2. Ar-Raudhah an-Nadiyah.
3. Asy-Syarhul-Mumti’.
4. Bidayatul-Mujtahid.
5. Irwâ`ul Ghalil.
6. Raudhatuth-Thalibin.
7. Shahîh Fiqih Sunnah.
8. Tamamul-Minnah, dan lain-lain.
1. Al-Mughni.
2. Ar-Raudhah an-Nadiyah.
3. Asy-Syarhul-Mumti’.
4. Bidayatul-Mujtahid.
5. Irwâ`ul Ghalil.
6. Raudhatuth-Thalibin.
7. Shahîh Fiqih Sunnah.
8. Tamamul-Minnah, dan lain-lain.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lisanul-‘Arab, Kasyful Qanna’, 2/60.
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330.
[3]. Fathul-Bâri (2/612), Tamamul-Minnah (261), ar-Raudhah an-Nadiyah (156).
[4]. Syarhul-Mumti’, Syaikh ‘Utsaimin, 5/237-240.
[5]. Al-Umm (1/214), al-Mughni (2/420), al-Inshaf (2/442), Bidayatul-Mujtahid (1/160), dan Muhalla (5/95).
[6]. Ibnu Abidin (2/183) dan Bidayatul-Mujtahid (1/312).
[7]. Shahîh Fiqih Sunnah, 1/433.
[8]. Al-Mughni, 3/323.
[9]. Al-Mughni (3/427), Raudhatuth-Thalibin (2/87).
[10]. Shahîh Fiqih Sunnah, 1/437.
[11]. Irwâ`ul Ghalil, 3/132.
[12]. Syarhul-Mumti’, Syaikh ‘Utsaimin, 5/237-240.
_______
Footnote
[1]. Lisanul-‘Arab, Kasyful Qanna’, 2/60.
[2]. Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 3/330.
[3]. Fathul-Bâri (2/612), Tamamul-Minnah (261), ar-Raudhah an-Nadiyah (156).
[4]. Syarhul-Mumti’, Syaikh ‘Utsaimin, 5/237-240.
[5]. Al-Umm (1/214), al-Mughni (2/420), al-Inshaf (2/442), Bidayatul-Mujtahid (1/160), dan Muhalla (5/95).
[6]. Ibnu Abidin (2/183) dan Bidayatul-Mujtahid (1/312).
[7]. Shahîh Fiqih Sunnah, 1/433.
[8]. Al-Mughni, 3/323.
[9]. Al-Mughni (3/427), Raudhatuth-Thalibin (2/87).
[10]. Shahîh Fiqih Sunnah, 1/437.
[11]. Irwâ`ul Ghalil, 3/132.
[12]. Syarhul-Mumti’, Syaikh ‘Utsaimin, 5/237-240.
0 Response to "SHOLAT GERHANA"
Post a Comment
Jadilah yang pertama dalam berkomentar